Pages

11.18.2010

Tujuh Belas Tahun

Ini cerita tentang ibu saya.

“Kalau mau berjuang, ya berjuang aja. Nggak usah mikir yang macem-macem.”

Saya pernah mengucapkan kalimat itu, yang pernah saya tulis di sini dan di halaman lain. Sungguh, saya menyesalinya. Kadang-kadang kalimat yang saya ucapkan kepada ibu saya itu masih terngiang di kepala. Waktu itu saya belum merasakan bagaimana sulitnya terdesak kebutuhan hidup.

10.14.2010

Koyo Londo

“Kok pakeane koyo pakean londo, yo?” [Kok pakaiannya seperti pakaian Belanda ya?]

Kalimat itu meluncur dari kernet bus jalur tujuh, Yogyakarta yang saya tumpangi. Saya dalam perjalanan pulang. Bus hampir penuh terisi sore itu. Udara pengap. Jalanan riuh. Bus melaju kencang, kadang mengerem mendadak di lampu merah. Saya menyebut bus jalur tujuh itu “bus balap”. Tapi saya sedang tidak tertarik untuk membahas bus kota yang saya tumpangi di sini. Saya lebih tertarik pada ucapan pak kernet tadi.

9.02.2010

Lebaran dan Seragam Merah Putih

Lebaran. Orang-orang akan sibuk. Pasar juga ramai. Ada yang pulang kampung. Ada yang membuat kue. Dan jangan lupa: baju baru!

Baju baru pada lebaran mengingatkan saya pada banyak hal di masa lalu. Ketika saya belum akil-baligh di tahun 80-an akhir hingga 90-an. Tentu saja saya senang dibelikan baju baru. Karena hanya dengan begitu saya dibelikan baju baru. Lain waktu itu seingat saya jarang sekali, atau malah belum pernah.

8.18.2010

Pak Janggut


Pak Janggut. Sebagian dari Anda mungkin tidak asing dengan tokoh ini. Ya. Pak Janggut adalah seorang tokoh komik terjemahan yang pernah ditayangkan di majalah Bobo.
Lebih dari lima belas tahun lalu saya membaca cerita Pak Janggut. Ketika saya masih sekolah dasar. Saya lupa kelas berapa saat itu. Waktu itu saya dibelikan majalah Bobo oleh paman saya. Bukan main girangnya saya. Majalah itu masih baru, artinya paman tidak membelinya di loakan.  Dengan riang, segera saya baca majalah itu. Dalam dua hari majalah itu selesai saya baca. Semua tulisan di majalah itu. Tentunya tak ketinggalan cerita favorit saya: Pak Janggut.

7.30.2010

Aku Mendayung Perahu Sendirian!

Fragmen Empat
Semua sudah pergi. Tinggal aku sendirian. Bibiku sudah lama tidak tinggal di sini. Sedang paman sering pergi untuk urusan yang aku tidak tahu. Mungkin bekerja, mencari uang. Aku tidak tahu. Paman juga tidak pernah mengatakan ke mana ia pergi. Hanya dalam beberapa kesempatan ia sering mengatakan ia mencari uang. Aku tidak paham apa arti semua itu. Kepergian bibiku dan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Aku belum mengerti persoalan orang dewasa.
Satu hal yang aku tahu dengan pasti. Aku harus melanjutkan hidupku. Aku mesti menjalani semuanya dengan kesendirian itu. Bukan hanya belajar untuk hidup mandiri seperti nasihat yang sering masuk di telingaku. Tapi benar-benar sendiri. Aku, ibarat mendayung perahu sendirian.

10.20.2009

Saya Merasa Jauh dari Indonesia

Catatan dari Lenteng 1:
Di sini rasanya saya merasa jauh dari Indonesia. Bukan karena saya berada di luar negeri. Tidak. Sama sekali tidak. Saya berada di luar pulau jawa. Di sini, saya merasa saya tidak begitu memahami Indonesia. Saya baru sadar, Indonesia yang selama ini saya pahami hanya seluas hamparan rumput di depan rumah saya. Atau jarak terjauh, sebatas propinsi yang selama ini saya tinggali, Yogyakarta.

Saat ini saya berada di sebuah kabupaten paling timur di Pulau Madura, Sumenep, dalam rangka penelitian, survey pendidikan dan kesehatan. Saya harus mendatangi rumah warga untuk wawancara, sekolah, dan fasilitas pemerintah yang lain. Saya ingin menceritakan peristiwa perjalanan saya, bukan deskripsi teoritis maupun analitis mengenai penelitian itu. Terlalu rumit (atau saya yang barangkali tidak paham? Boleh kalau disangka begitu).

9.07.2009

Ode untuk Ibu 2

Aku masih ingin bercerita tentang ibuku—tentunya dalam pandanganku—tentang impiannya bagi masa depan anak-anaknya, tentang kesedihannya, ketabahannya sebagai seorang pengabdi, dan apapun mengenai dirinya. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku sering mengingatnya. Barangkali aku sedang merindukannya. Atau mungkin aku sedang teringat akan ketabahan dan kesabarannya. Kesabaran yang sebenarnya ditahan karena jerat keadaan. Tidak adanya kaminan kesejahteraan baginya—sebagai seorang pendidik, keterbelakangan, dan banyak lagi hal lain. 
Beberapa hari yang lalu aku dan ibu bercerita tentang cita-citanya bagi masa depan anaknya. Aku dan ibu duduk di sudut samping rumah, sambil memandangi pohon-pohon pisang yang lebat seperti hutan. Sementara di sekelilingnya, rumput-rumput tumbuh liar, juga tak terurus.